Redaktur : Fatimatul Zahra
(Gedung
DPRD Banten yang berlokasi Jalan
Syech Nawawi Al-Bantani Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B)/sumber
:Google)
SERANG (04/03), keterwakilan perempuan dalam dunia
politik khususnya di daerah Banten masih minim. Padahal, hak keterlibatan
perempuan dalam dunia politik sudah ditetapkan dalam Undang Undang Nomor 7
tahun 2014 tentang Pemilu yang menyebutkan bahwa kuota perempuan dalam bidang
politik ialah sebanyak 30%.
Dilansir
dari bantennews, kuota perempuan di Banten yang melibatkan diri ke dunia
Politik hanya sekitar 18,33 persen. “Sebenarnya bukan masalah kuotanya, karena kuota
perempuan di Indonesia 30%, tetapi masih kurangnya kesadaran atau justru budaya
patriarki lah yang menekan angka partisipasi perempuan sehingga hanya mencapai
20%” ujar Ika, Dosen Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Jum’at
(02/03).
Selain
kurangnya rasa percaya diri, minimnya keterlibatan ini dipicu karena pemahaman
perempuan dengan dunia politik masih kurang, bahkan ada yang tidak peduli
dengan politik. Masih banyak perempuan yang berpikiran bahwa mereka lebih baik
didapur saja mengurus keluarga dibandingkan harus mengurusi masyarakat.
Sedangkan menurut Ika, peran perempuan itu sangat penting dalam bidang politik,
“Salah
satu bentuk perwujudan emansipasi perempuan kan masuknya perempuan ke dalam
ranah-ranah yang sebelumnya hanya diisi laki-laki, termasuk juga ranah politik.
Karena dari dulu ranah politik dianggap ruang publik yang pantang diisi oleh perempuan.
Jika sampai perempuan tidak ada yang masuk dalam dunia politik, berarti sama
saja telah menggagalkan emansipasi”.
Sebelum
melaksanakan politik di bidang legislatif yang sesungguhnya, perempuan
khususnya yang masih mengenyam pendidikan di bangku perkuliahan, dapat belajar
melalui politik kampus. Hal itu dibenarkan oleh Risa, ketua Himpunan Mahasiswa Ilmu
Komunikasi Untirta yang memasuki politik kampus “Jika ingin memasuki
dunia politik yang sesungguhnya diluar sana, kita bisa memulai dengan cara
masuk politik kampus, dan selain mendapatkan wawasan juga pengalaman, politik
kampus juga merupakan ajang kita untuk menunjukkan taring kita, sehingga kita
tidak diremehkan dengan laki-laki”.
Risa
menambahkan bahwa mengikuti politik di kampus juga tidak kalah sulitnya dengan
politik diluar sana, karena juga mempelajari bagaimana mempersuasi masyarakat,
mengatur tatanan jurusan, yang harus diimbangi dengan kewajiban belajar sebagai
mahasiswa. Perempuan yang memasuki politik di kampus juga masih dikatakan
rendah, karena faktor lingkungan dan masyarakat yang masih kurang percaya terhadap
adanya perempuan yang menjadi pemimpin.
“Iya, waktu saya
berkampanye beberapa bulan lalu, saya mendengar ada beberapa yang berpandangan
lebih baik laki-laki yang menjadi pemimpin, bahkan soal kepemimpinan laki-laki
itu disangkut pautkan dengan agama” ujar Risa. (RLS/FZ/NEWSROOM)
0 Komentar