Redaktur : Hani Maulia
Ratih
Lystianingtyas (kanan), pada acara
pengabdian masyarakat Jurusan PLB Untirta, Juli 2017. Foto: Dokumentasi HMJ PLB
Untirta
Menjadi
seorang dosen bukanlah sebuah hal yang mudah, namun pekerjaan inilah yang menjadi
keseharian Ratih Listyaningtyas. Empat tahun sudah ia menjadi dosen di Jurusan
Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Untirta terhitung
sejak 2014. Mengalami gangguan penglihatan sejak kecil, tidak mengangap dirinya
berbeda dengan orang lain. Saat ditemui di rumahnya di Komplek Permata Serang
pada hari Sabtu, 24 Februari 2018, ia bercerita bahwa masa kecilnya tidak jauh
berbeda dengan kebanyakan anak, ia masih dapat leluasa bermain dengan teman
sebayanya. Keluarganyapun tidak memberikan perlakuan khusus padanya ataupun
membeda-bedakannya dengan orang-orang lingkungannya karena kondisi pengelihatannya
yang tidak baik.
Namun dirinya perlahan-lahan mulai paham saat
ia mulai mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah
Pertama (SMP) di salah satu Sekolah Luar Biasa (SLB) di kotanya. Namun itu juga
tidak membuatnya merasa berbeda atau iri dengan orang lain, justru dengan
berbagai macam kegiatan dan ekstrakulikuler khususnya di bidang Seni dan Sastra
yang ada di SLB ia dapat mengasah kreatifitas dan menyalurkan berbagai hobi. Ia
terbilang cukup berprestasi saat sekolah sempat mengikuti Jambore Nasional,
Gelar Nusantara Anak Indonesia, tidak ketinggalan ia pernah menjuarai lomba
menyanyi saat itu. Ratih pun merasa bahwa disitulah “lahan”nya untuk berkembang
dan mengejar masa depannya.
Ratih percaya bahwa
yang membatasinya hanyalah sebatas penglihatan, ia percaya bahwa tidak ada perbedaannya
dengan orang lain. Ia percaya kemampuan serta intelektual dan pola fikirnya
sama dengan kebanyakan orang. Setelah tamat dari Sekolah Menengah Atas (SMA) di
salah satu SMA Negeri Reguler di Surakarta yang juga merupakan kota kelahirannya,
Ratih muda melanjutkan studinya ke jenjang sarjana dengan jurusan Pendidikan
Luar Biasa di Universitas Sebelas Maret (UNS). Saat itu Ratih berkeinginan
menjadi seorang guru sekolah. Bukan hal mudah bagi Ratih tentunya menempuh
studi S1 nya. Tape recorder untuk
merekan materi dan huruf Braille menjadi teman akrab baginya di kala
mengerjakan tugas.
Lulus di tahun 2007 dan mencari pekerjaan
sebagai guru, ia sempat merasa sulit mencari pekerjaan karena dipandang
penyandang disabilitas namun ia akhirnya ia berkesempatan mengajar sebagi guru
selama kurang lebih lima bulan sebelum
memutuskan untuk melanjutkan studi pasca sarjana untuk gelar magister di
bidang Pendidikan Kebutuhan Khusus di Univeristas Pendidikan Indobesia (UPI)
pada 2010 tak lama kemudian lulus pada 2012. Di tahun yang sama tulisan yang ia
buat untuk lomba mengarang Esai Braille Onkyo lulus ke tahap nasional dan kemudian
dilombakan di tingkat Asia-Pasifik setelah diterjemahkan ke dalam bahasa
inggris.
Kembali
mencari pekerjaan namun pandangan orang tentang penyandang disabilitas masih
sangat sempit namun Ratih dapat membuktikan bahwa pandangan itu salah, ia
berhasil lolos pada Tes CPNS pada tahun 2014 untuk pekerjaan sebagai dosen
setelah sebelumya sempat gagal. Ia menunjukan kemampuannya sebagai akademisi
dan mengabdi di Universitas Sultan Ageng Tirtaya di Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan.
Ia pun masih menoreh prestasi sampai sekarang
tulisannya kembali masuk ke tahap Asia-Pasifik pada Onkyo Braille Essay Contest
2017. Tidak hanya itu Ia juga sempat menceritakan penghargaan yang ia dapat
untuk Film Dokumenter yang dikerjakan bersama mahasiswa untuk lomba film di provinsi
Banten, yang memenangkan 3 penghargaan sekaligus. Sungguh keterbatasan tidak
sama sekali membuatnya menjadi terbatas. (STE/HNI/Newsroom)
0 Komentar