Redaktur : Mulyani Pratiwi
(Tampak
depan Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Serang)
SERANG - Hari Kartini diperingati pada tanggal 21 April setiap tahunnya. Menurut salah seorang mahasiswa teknik
metalurgi Institut Teknologi Bandung, Ayu (19), menyatakan bahwa momen hari
kartini seharusnya dijadikan sebagai peringatan bahwasanya perempuan perlu diapresiasi dan
tidak dipandang rendah dalam kehidupan sehari-hari. Kini, kaum perempuan bisa
bekerja dan banyak pekerjaan yang bisa dijadikan profesi, meski beberapa di
antaranya masih memiliki stigma. Salah satunya adalah perempuan yang menjadi
tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri. Keberanian mengambil risiko untuk
bekerja ke luar negeri merupakan bagian dari emansipasi yang masih harus
diperjuangkan.
Nuryati Solapari (49), seorang mantan TKI yang kini
telah bergelar doktor mengatakan terdapat ketidakadilan terhadap TKI perempuan
semenjak pra-penempatan. Salah
satu yang paling menonjol adalah ketika para calon TKI berada di tempat
penampungan. Menurutnya segala keterbatasan fasilitas yang dimiliki oleh
penampungan menunjukkan ketidakadilan. Hal itu dikarenakan jumlah perempuan
biasanya lebih banyak dari laki-laki, namun jumlah fasilitas untuk keduanya
tetap sama. Calon TKI perempuan yang akan bekerja di sektor informal, seperti
asisten rumah tangga misalnya, akan melakukan semua pekerjaan asisten rumah
tangga di penampungan.
“Artinya ada beban ganda bagi calon TKI perempuan.
Kalau laki-laki kan tidak ada, tidak diberikan beban itu,” ujarnya ketika
ditemui di Kantor KPU Provinsi Banten, Minggu (22/4).
Dari data yang dipublikasikan oleh Badan Nasional
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) secara keseluruhan
ada 261.820 warga Indonesia yang tercatat bekerja di luar negeri selama tahun
2017. Pekerja migran tersebut 70%
di
antaranya adalah perempuan. Berdasarkan tingkat pendidikannya didominasi oleh
lulusan bangku
sekolah dasar sekitar 38%.
Hal ini menimbulkan stigma terhadap TKI yang erat
dengan kemiskinan dan kebodohan. Ini menunjukkan sebuah kelemahan pemerintah
dalam hal akses pendidikan bagi masyarakat. Bagi Gadis Ayas (20), seorang
mahaiswa sekaligus karyawan swasta, pemerintah memiliki tanggung jawab terhadap
lapangan pekerjaan untuk warganya khususnya perempuan yang berpendidikan
rendah. Setidaknya memberikan keterampilan dan peluang usaha bagi mereka agar
jumlah TKI khususnya perempuan semakin berkurang.
Di samping itu, menurut Nuryati, sebenarnya ada
program kejar paket bagi para purna TKI. Dan kini, tak sedikit TKI yang
berkuliah di negara tempatnya bekerja dan pulang membawa ijazah. Dengan
menunjukkan prestasi yang diraih para buruh migran dapat mengurangi stigma
masyarakat terhadap mereka. Menurut ibu empat anak ini, penyeimbangan berita dari media juga
diperlukan untuk menghilangkan stigma terhadap buruh migran.
“Selama ini berita itu kan selalu menyudutkan TKI
khususnya perempuan. Karena sebetulnya kekerasan yang terjadi tidak hanya
menyangkut kepada perempuan, tetapi laki-laki juga. Namun, karena medianya yang
lebih mem-blow up perempuan, secara otomatis stigma itu jatuh kepada
kaum perempuan,” ucapnya.
Peran pemerintah merupakan hal penting yang sangat
dibutuhkan dalam melindungi buruh migran. Seperti upaya-upaya perlindungan dan
pelayanan terhadap pekerja migran yang harus terus ditingkatkan. Belum lama ini
pemerintah mengesahkan Undang-undang No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan
Pekerja Migran Indonesia. Meski terkesan terlambat memperbaharui undang-undang,
setidaknya pemerintah memiliki progres dalam memperbaiki kinerjanya melayani
para buruh migran. Dan kinerja tersebut harus bisa ditingkatkan untuk
seterusnya. (AS/ESW/Newsroom)
0 Komentar